Jumat, 29 Juni 2012

Otonomi Daerah Pada Era Reformasi

BAB I
LATAR BELAKANG

         Kerisis ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada 1997 mendorong keinginan kuat dari pemerintah pusat untuk melepaskan sebagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan keuangan sendiri. Dengan kata lain, penurunan penerimaan negara secara simultan telah mendorong timbulnya inisiatif pemberian status otonomi kepada daerah otonom sebagaimana telah di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 sebagai sebutan bagi pemerintah Provinsi/kabupaten Kota di era sebelum otonomi daerah.

        Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat.

       Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 serta regulasi pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah No 104 sampai dengan Peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000 yang berlaku Efektip 1 Januari 2001.

       Dengan dikeluarkannya UU tersebut, maka telah terjadi perubahan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan tata pemerintahan yang telah dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan dari prinsip sentralisasi ke prinsip desentralisasi yang mana pada waktu segala kebijakan adalah keputusan dari pusat, dengan adanya otonomi daerah maka daerah otonom mempunyai kewenangan dan dapat mengambil keputusan terkait kepentingan daerah serta mngembangkan segala potensi yang ada untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa.

Salah satu faktor penyebab di keluarkannya undang-undang mengenai otonomi daerah bermula ketika terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997 sehingga pemerintah berinisiatif untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri terkait pengelolaan keuangan daerah. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa sebelum adanya otonomi daerah seperti masa pemerintahan Soeharto perekonomian di Indonesia cukup meningkat melalui Repelita yang merupakan strategi Soeharto untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia pada saat itu, akan tetapi pada tahun 1997 saat krisis moneter menimpa Asia, di awali dengan menimpa Thailand, lalu menimpa Indonesia yang mengakibatkan Indonesia mengalami krisis nasional, banyak perusahaan yang tutup dan pengangguran membengkak, sehingga pemerintah pada saat itu meminjam dana pada bank dunia IMF untuk menjaga stabilitas nasional, hutang negara pada saat itu telah menyisakan luka bagi anak cucu bangsa hingga saat ini.

Dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah dapat mengatur rumah tangganya sendiri, dan dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem desentralisasi atau otonomi daerah ini, dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat.

Perbandingan dibidang ekonomi pada era sebelum dan sesudah otonomi daerah pada dasarnya memiliki persamaan dan perbedaan, sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26 tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi dan otonomi daerah ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap masyarakat.

Pada Orde Baru Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN) sedangkan pada era Reformasi Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media massa, media elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol. Kebijakan Pemerintah Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti “manusia setengah dewa”).

Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650% per tahun. Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salah satu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.

Permasalahan ekonomi saat ini masih disoroti tajam oleh berbagai pihak, dari data yang di dapat bahwa tingkat kemiskinan indonesia saat ini Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan memperkirakan hingga akhir tahun 2010, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa, dan 19,93 juta jiwa atau 64,2 persen di antaranya tinggal di perdesaan. Menurut Rusman, berdasarkan beberapa data penelitian, antara lain Bank Dunia (World Bank) pada 2007, elastisitas kemiskinan perdesaan Indonesia memiliki pola yang berbeda. Tentang definisi kemiskinan, Rusman mengatakan, BPS secara konsisten menilai bahwa ukuran kemiskinan adalah dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai otonomi daerah yang sudah berusia sembilan tahun telah gagal alias tidak membawa keberhasilan sesuai tujuannya. "Otonomi daerah sudah gagal, tingkat keberhasilan sangat rendah," kegagalan otonomi daerah tergambar dari menurunnya pertumbuhan ekonomi daerah paska diberlakukannya sistem desentralisasi pada 2001. Jauh dibandingkan dengan pertumbuhan saat sebelum otonomi daerah. "Saya terkejut dengan temuan dari riset Profesor Irwan Aziz yang menyebutkan pertumbuhan sesudah otonomi daerah jauh lebih rendah dibandingkan sebelum otonomi daerah. Riset tersebut mengamati pertumbuhan ekonomi daerah dari tahun 1993-1996 (sebelum otda) dan tahun 2001-2007 (setelah otda), yang diambil datanya dari Badan Pusat Statistik. Dalam riset tersebut disebutkan, rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah melorot menjadi 4,88 persen (2001-2007) dari sebelumnya 8,13 persen (1993-1996).

Penurunan terparah terjadi di Papua, di mana rata-rata pertumbuhan 2001-2007 hanya sebesar 0,66 persen dari sebelumnya yang mencapai 14,19 persen. Bahkan, DKI Jakarta juga mengalami penurunan menjadi 5,71 persen dari sebelumnya 8,99 persen. "Jadi tidak heran waktu Sri Mulyani mengatakan semua laporan keuangan daerah disclaimer. Padahal, sebelum otonomi daerah laporan keuangan daerah baik semua. Otonomi daerah telah membuat tanggung jawab daerah dalam menyusun laporan keuangan menurun. "Mereka (kepala daerah) jadi membangun seenaknya saja, karena tidak ada target keberhasilan," kata dia. Untuk itu, dalam memperbaiki kegagalan otda, kita berharap pemda dan pemerintah pusat menetapkan target tertentu dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Selain itu, kegagalan juga dipicu oleh masih kentalnya permainan politik dan uang dalam kepemimpinan daerah.

Keberhasilan daerah tergantung pemimpinnya. "Sudah membangun seenaknya, malahan yang baik, belum tentu menang di pemilihan selanjutnya. Dari data BPS, yang berhasil membangun daerahnya tidak lebih dari 10 persen dari sekitar 500 kabupaten/kota. "Yang berhasil menerapkan otda ada, tapi hanya sedikit, tak lebih dari 10 persen. Contohnya, Surakarta dan Gorontalo.

Dengan kegagalan pembangunan ekonomi daerah di tengah otda, akibatnya investasi ikut terimbas. "Investasi yang masuk hanya menyasar kekayaan alam saja, seperti pertambangan, minyak dan gas. Bahkan perkebunan pun seringkali berbenturan dengan UU Tata Ruang,"


BAB II
RUMUSAN MASALAH

Otonomi daerah sudah menggelinding berbarengan dengan reformasi. Ia merupakan terobosan untuk memperkuat Indonesia sebagai sebuah negara bangsa dengan mengakomodasi keragaman daerah. Akomodasi ini bukan untuk memperlemah, tapi sebaliknya, untuk memperkuat Indonesia. 

 

Adapun rumusan masalah yang akan di bahas, Bagaimana Peranan otonomi daerah masa reformasi untuk menciptakan indonesia lebih baik ?


BAB III

ANALISIS

Di era otonomi daerah sekarang ini birokrasi di tingkat lokal sudah mengalami masa transisional ( peralihan) dari pardigma birokrasi orde baru yang sentralistik, ke paradigma reformasi yang mendukung sentralisasi dan demokratisasi. Namun tampaknya di masa otonomi daerah ini khususnya di tingkat lokal harus dicermati karena cenderung menjauh dari semangat reformasi, meski mulai muncul pula Good Practices yang demokratik di beberapa daerah. Saat ini yang lebih menonjol adalah kepentingan elit lokal ketimbang isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan publik. Otonomi daerah seakan menjadi otonominya elit lokal untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan yang acapkali ditempuhnya melalui transaksi-transaksi politik rendahan.

 

Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan. Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang pertu diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” adalah koplitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara baik unsur aparatur negara maupun warga negara dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa.

 

Dengan adanya otonomi daerah sesuai dengan UU No 22 Tahun 1999 maka banyak perubahan yang terjadi dalam segi tatanan kepemerintahan di Indonesia atau lebih dikenal dengan Reformasi Birokrasi, artinya terjadi perubahan dari segi birokrasi untuk menuju birokrasi yang baik atau dikenal Good Governance. Pada masa kepemerintahan Soeharto atau orde baru segala kebijakan harus berdasar dari pemerintah pusat ini dikarenakan pada waktu sebelum adanya otonomi daerah menggunakan prinsip desentarlisasi, ini sangat berbeda dengan sekarang ini segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu daerah merupakan tanggung jawab daerah dan daerah tersebut berhak untuk mengambil keputusan dan kebijakan. Kita sekarang sering mendengar istilah perda, ini merupakan realita dari otonomi daerah bahwa suatu daerah berhak mengeluarkan peraturan terkait permasalahan yang terjadi di daerah dan ini sangat jauh sekali berbeda dengan masa dulu sebelum adanya otonomi daerah.

 

Untuk meningkatkan kefektifan dalam penyelenggaraan pemerintahan maka di sahkan peraturan baru yang mengatur tata pemerintahan daerah yaitu UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dengan dasar pertimbangan. bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

 

Dengan dikeluarkan peraturan baru tersebut maka dilaksanakanlah pemilihan umum secara langsung pada Pemili tahun 2004 untuk memilih Presiden secara langsung, pemilihan kepala daearah serta pemilihan anggota DPR baik ditingkat Provinsi/kabupaten kota atau tingkat pusat, ini merupakan pemilu yang pertama kali pemelihan presiden pejabat pemerintah secara langsung dengan begitu rakyat dapat memlilh wakilnya yang menurutnya dapat dipercaya untuk menjalankan amanat rakyat.

 

Dengan adanya otonomi daerah diharapkan birokrasi dapat menjalankan amanat rakyat dengan baik, akan tetapi pada kenyataannya penyakit lama pada orde baru tidak pernah hilang bahkan pada zaman sekarang sudah mendarah daging, penyalahgunaan wewenang merupakan permasalah yang uatama sehingga menimbulkan penyakit birokrat, penyakit tersebit ialah KKN. Seperti yang kita ketahui sampai sekarang ini permasalah korupsi masih menjadi sorotan yang utama. Tak terhitung sudah berapa banyak uang rakyat yang habis percuma dirampok oleh para koruptor, contoh kasus korupsi yang menghebohkan sampai saat ini diantaranya kasus Bank Century, mavia pajak Gayus Tambunan, wisma atlit palembang serta banyak lagi kasus korupsi yang lain. Ini membuktikan adanya kesamaan antara birokrasi pada masa sebelum dan sesudah adanya otonomi daerah, para birokrat cenderung melakukan peyalahgunaan kewenangan dan memperkaya diri.

            Dari segi politik sejak di berlakukannnya UU tentang otonomi daerah, maka pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, ini sangat berbeda pada saat sebelum otonomi daerah diberlakukan. Tengok saja, dari bupati sampai presiden kini dipilih langsung oleh rakyat. Otonomi memungkinkan daerah mengatur rumah tangganya sendiri. Panggung politik lokal memunculkan sederet pemain baru. Mereka datang dari berbagai macam profesi, pengusaha, politisi, LSM, dan intelektual. Bahkan sampai preman. Memang, seperti ditelaah akademisi Profesor Richard Robison dan Prof Vedy R Hadiz, oligarki lama tetap dominan di panggung bisnis dan politik. Mereka kini menguasai urat nadi ekonomi politik bangsa ini. Namun, kini dunia bisnis ikut  berputar. Liberalisasi dan deregulasi membuat kompetisi makin terbuka.

Liberalisasi dan perubahan dunia bisnis di Indonesia juga mengundang masuk perusahaan asing. Dengan menggunakan sistem pemilihan langsung memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih para wakil yang dipercayainya, namun sayang pesta rakyat tersebut cenderung dimanfaatkan oleh para sebagian oknum untuk menggunakan trik keji, seperti money politic yang dapat membeli suara rakyat. Hampir setiap daerah menggelar pilkada dengan dana yang cukup besar yang dana tersebut sebenarnya adalah uang rakyat, namun kenyataan pilkada yang digelar dengan dana yang begitu besar memaksa para birokrat yang sudah duduk nanti di bangku pemerintahan untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan pada waktu kampanye, sehingga kecendrungan untuk korup lebih besar.

Lihat saja para birokrat di masa kini, belum lama menjabat sudah di introgasi karena kasus korupsi dan sudah banyak wakil rakyat yang telah di jebloskan ke dalam penjara. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sejak otonomi daerah telah membuka cakrawala demokrasi di indonesia, dengan reformasi kita dapat memberikan aspirasi kepada pemerintah, dapat mengeluarkan pendapat bahkan turut ikut dalam ranah politik, itu membuktikan bahwa sistem politik di indonesia pada masa reformasi setelah otonomi daerah sangat berbeda pada masa soeharto di waktu orde baru atau sebelum otonomi daerah.

Otonomi daerah dapat juga memberikan tantangan dalam pemerintahan, seperti pada pemilihan kepala daerah, kasus-kasus pemilihan pimpinan daerah sampai pemilihan Kepala Desa memunculkan pertengkaran warga diberbagai daerah menjadi ancaman bagi keutuhan persatuan serta kesatuan masyarakat. Bahkan sering KPU menggelar pilkada ulang pada suatu daerah, hal ini dikarenakan hasil pilkada tidak dapat dipertanggungjawabkan, ada yang bilang sarat dengan kecurangan dimulai dari adanya pemilih ganda, ada warga yang tidak dapat kartu pemilih atau hak pilih da bahkan adanya kecurangan pada perhitungan suara atau manipulasi data para pemilih atau jumlah suara. Kondisi ini merupakan tantangan yang perlu mendapat perhatian dan di tindaklanjuti dengan cepat, tepat serta menyentuh substansi permasalahannya. Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik yang stabil transparan dan demokratis. Banyaknya kasus yang lebih mengedepankan kepentingan politik daripada penegakan supremasi hukum dan penghargaan atas hak asasi manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan contoh betapa kerasnya usaha yang harus diperjuangkan dalam mempercepat proses penegakkan demokrasi yang benar. Oleh karena itu diperlukan karakter budaya politik dan tingkat pendidikan politik yang representatif dapat menjadi faktor penting terwujudnya kehidupan demokrasi yang bermartabat.

Dari pengamatan penulis, sistem sosial budaya Indonesia sejak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah mengalami berbagai macam perubahan, akan tetapi tidak menjamin bahwa perubahan tersebut hanya dikarenakan adanya otonomi daerah, faktor globalisasi merupakan faktor yang sangat besar memberikan perubahan dalam sistem sosial budaya di Indonesia. Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.

Dalam era reformasi, sejak sepuluh tahun terakhir, Bangsa Indonesia tengah menghadapi berbagai bentuk tantangan berat yang sangat mengganggu kehidupan sosialnya. Salah satu tantangan yang dihadapi dewasa ini adalah untuk membangun kembali fundamental perekonomian nasional yang telah mengalami krisis pada tahun 1997-1998 yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Pada saat ini kesenjangan sosial masih tampak jelas, yang mana orang kaya diberlakukan berbeda dengan masyarakat biasa, seperti pada pelayanan birokrasi misalnya, orang yang kaya didahulukan dari pada orang miskin, contoh lain adalah masih banyaknya anak jalanan yang ada di kolong-kolong jembatan, berbanding terbalik dengan kehidupan mewah para pejabat, belum lagi adanya para birokrat pemerintah yang korup uang rakyat, namun dihukum dengan hukuman yang ringan, berbeda dengan rakyat biasa yang mencuri semangka dan singkong di ancam dengan hukuman penjara yang lebih lama seperti yang telah diberitakan berbagai media beberapa waktu lalu.

Pada era reformasi sekarang ini, salah satu perkembangan soaial di masyarakat adalah adanya kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, hal ini berbeda sekali dengan era orde baru segala sesuatu diatur dan dilarang oleh pemerintah. Di era reformasi sesudah otonomi daerah ini banyak sekali munculnya organisasi sosial berupa LSM, organisasi kemahasiswaan dan banyak lagi jenis organisasi lainnya, dan kesemua jenis organisasi tersebut sudah barang tentu memperjuangkan hak rakyat sehingga tidak adanya ketimpangan sosial, seperti yang telah kita ketahui bahwa pada saat ini masih adanya kesenjangan sosial antara masyarakat kelas bawah dengan masyarakat kelas atas.



BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan

Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat.

Otonomi daerah telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan bangsa, misalnya segi ekonomi maka pemerintah daerah dapat mengatur dan mengelola segala sumber daya yang ada sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, otonomi daerah pula mempengaruhi di segi politik, birokrasi dan sosial budaya. Seperti pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, ini sangat berbeda pada saat sebelum otonomi daerah diberlakukan. Tengok saja, dari bupati sampai presiden kini dipilih langsung oleh rakyat. Otonomi memungkinkan daerah mengatur rumah tangganya sendiri.

           Akar dari belum berkinerja baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi publik atas kinerja pemerintah daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja otonomi daerah tergantung pada apakah kinerja pemerintah akan semakin baik, atau sebaliknya. Bila tidak, maka sikap negatif publik pada otonomi daerah akan menjadi semakin kuat, dan pada gilirannya akan semakin menjauhkan daerah dengan pusat, kedaerahan dan keindonesiaan.


Saran
      

Dilihat dari sikap dan perilaku politik warga, otonomi daerah yang sudah berjalan sampai hari ini belum mampu menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan. Hubungan antara kedaerahan dan keindonesiaan masih negatif, dan yang punya sentimen kedaerahan dibanding keindonesiaan masih banyak. Selain itu, otonomi daerah belum mampu menyerap keragaman dalam keindonesiaan.

Namun demikian, tidak terkaitnya secara berarti antara otonomi daerah dan keindonesiaan masih tertolong berkat demokrasi. Demokrasilah yang menggerus kedaerahan, bukan otonomi daerah. Untungnya, demokrasi pula yang berhubungan secara sistemik dengan otonomi daerah.

 

Demokrasi menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI. Bila demokrasi melemah, terutama dilihat dari kinerjanya, maka otonomi daerah bukan memperkuat NKRI melainkan memperlemahnya.



DAFTAR PUSAKA

Setyawan Salam Darma.DR.Ir. 2007. Otonomi Daerah. Penerbit Jembatan Jakarta
Syafirin Pipin. Dedah Jubaedah. 2006. Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Pustaka Setia Bandung
http://transparansi.or.id/about/otonomi-daerah/latar-belakang-otonomi-daerah.html
http://www.soeltan.co.cc/2010/07/kelebihan-dan-kekurangan-otonomi-daerah.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/otonomi-daerah-dan-reformasi-birokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar