Jumat, 29 Juni 2012

UUD Perdesaan

DESA BERDASARKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945,UNDANG UNDANG  32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NO 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA


LATAR BELAKANG

Sejarah jejak perjalanan ketata negaraan, terutama di dalam bidang desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia sejak masa penjajahan kolonial belanda hingga era reformasi saat ini kiranya patut untuk diangkat kembali.

Hal ini tentu saja tidak hanya berguna untuk ikhtiar pewarisan sebuah perjalanan sejarah tentang sebuah kebijakan penting menyangkut pemerintahan yang asli, tapi lebih memperbaiki keadaan yang akan datang dengan segala tuntutan keadaan yang semakin kompleks.

Sesungguhnya, walaupun aturan kebijakan yang mengatur tentang daerah mulai decentralitatie wet 1903, UU 1/1945, UU 22/1948, UU 1/1957, UU 32/1956, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 5/1979, UU 22/1999, dan yang paling akhir saat ini UU 32/2004 terdapat beberapa kemiripan isi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh karakter rejim pemerintahan yang berkuasa yang tentu saja hal ini berpengaruh pada konstruksi desentralisasi.     

Konstruksi politik hukum pemerintahan desa sangat bervariatif sejak jaman kolonial hingga saat ini, terutama setelah adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pada jaman penjajahan Belanda, swapraja dibiarkan hidup dan merupakan bagian dari pemerintahan penjajahan berdasarkan suatu perjanjian. Sedangkan volksgemeenschappen adalah desa, nagari, dusun, marga, kampong (gampong, kampuang) dan sebagainya, adalah persekutuan hukum teritorial Indonesia asli yang mandiri, kecuali swapraja.

Hal ini dapat diartikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda pada sat itu tidak menghapuskan bentuk pemerintah asli. Kedua bentuk pemerintahan desa tersebut menunjukkan bahwa saat itu ada daerah otonom asli Indonesia, yaitu swapraja dan desa. Meskipun pada masa pemerintahan Hindia Belanda pengaturan desa dibedakan antara desa-desa di Jawa dan di luar Jawa. Di Jawa diatur dalam Inlandsegemeente Ordonantie (IGO), sedangkan di luar Jawa diatur dalam Inlandsegemeente Ordonantie voor Buiten Gewesten (IGOB). Ketentuan-ketentuan ini hanya mengatur mengenai organisasi desa, karena desa sebagai pemerintahan asli telah ada jauh sebelum IGO dan IGOB diberlakukan.

Pada jaman kemerdekaan, desa diatur melalui Undang-Undang No.19 Th.1965 yang bertujuan untuk menjamin kesatuan masyarakat hukum yang ada sekarang (maksudnya yang masih ada pada masa atau kurun waktu itu) dapat selekas mungkin dijadikan atau ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpa melalui bentuk peralihan Desapraja. Disamping itu, untuk menjamin tata perdesaan yang lebih dinamis dan penuh daya-guna dalam rangka menyelesaikan Revolusi Nasional yang Demokratis dan Pembangunan Nasional Semesta. Sesuai dengan isi dan jiwa Manifesto Politik sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dan pedoman pelaksanaannya; Undang-Undang No.5/1979 tetang Ketentuan Pokok-pokok Pemerintahan Desa, UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah, dan peraturan yang terbaru adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam rumusan konstitusi, tepatnya pasal VI tentang pemerintahan daerah, secara implisit desa memang tidak diatur secara jelas, sehingga pengaturan tentang desa dimasukkan dalam Undang Undang tentang pemerintahan daerah, sehingga hal ini menimbulkan sedikit banyak masalah terutama tentang pengaturan desa itu sendiri.

Saat ini pengaturan tentang desa selain dimasukkan dalam rumusan Undang Undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, juga ada aturan turunan dari UU 32 tahun 2004 tersebut yang khusus mengatur tentang desa, yaitu Peraturan Pemerintah no 72 tahun 2005 tentang Pokok Pokok Pengaturan Desa. 

POKOK PERMASALAHAN

Dari uraian singkat latar belakang diatas, dapat ditarik suatu garis besar pertanyaan sejauh ini apakah pengaturan tentang desa yang terdapat dalam PP 72 tahun 2005 tentang desa dan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sudah sejalan dan sesuai dengan konstitusi bab pemerintahan daerah pasal 18.


PEMBAHASAN

C.1. Rumusan Pengaturan Desa Dalam UUD 45 Amandemen

Pengaturan tentang konsep desa memang tidak disebutkan secara jelas dalam pasal 18 tentang pemerintahan daerah. Hanya secara singkat dapat ditemukan dalam pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip kesatuan negara republik Indonesia yang diatur dalam Undang Undang”.

Pengaturan tentang desa tidak diatur secara implisit dalam konstitusi. Hal ini merupakan salah satu kelemahan pembentukan konstitusi amandemen yang parsial. Dipihak lain pengaturan tentang desa dapat menimbulkan interpretasi liar penyusunnya. Penafsiran yang liar ini sudah diperkirakan dan menjadi kekhawatiran para pemerhati otonomi khususnya tentang desa.
Desa diakui dalam penjelasan UUD 45 dimana disebutkan bahwa Indonesia terdir dari kurang lebih 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen dengan sebutan desa di jawa dan bali, nagari (minangkabau), dusun dan marga dan banyak sebutan lainnya yang sejenis, dimana daerah – daerah tersebut memiliki susunan masyarakat asli dan dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Amandemen terhadap pasal 18 yang dijadikan sebgaai landasan hukum penyelenggaraan otonomi daerah ternyata masih banyak persoalan yang krusial. Pola hubungan antara pusat dan daerah seharusnya tegas menjadi materi muatan konstitusi. Persoalan krusial yang dianggap tidak tuntas dalam pengaturan pasal 18 UUD 1945 amandemen antara lain :

1. Pembagian kewenangan.

Hal ini sangat penting dijamin dalam konstitusi, dengan demikian konflik kewenangan dapat teratasi serta dapat tercegahnya pemerintah pusat memaksakan kompetensi otonomi pada daerah dengan dalih menjaga keutuhan negara kesatuan. Dalam praktek selama ini pembagian kewenangan diserahkan kepada pembentuk UU yang selalu sarat dengan kepentingan politik hukum pemegang kekuasaan.Pengaturan Tata Hukum Daerah.

Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah merupakan masalah yang penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Seharusnya diperjelas hubungan antara pusat dan daerah. Diluar batas kewenangan pusat secara bertahap dan konsisten harus diserahkan kepada daerah propinsi maupun kabupaten/kota untuk dijadikan kewenangan rumah tangga daerah. Pembagian kewenangan seharusnya menjadi materi muatan konstitusi, bukan merupakan materi muatan UU, sehingga jelas konsepsi otonomi luas dalam kerangka negara kesatuan.

Tidak cukup daerah hanya diberi hak menetapkan peraturan daerah saja. Pada Tap MPR no III/2000, perda sebagai peraturan untuk melaksanakan aturan hukum yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus yang bersifat lokal. Seharusnya daerah diberi hak untuk mengatur tata hukumnya sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemberian otonomi luas kepada daerah. Bentuk hukum yang hanya peraturan daerah bagi daerah membuat kuantitas beban perda sangat berat, di sisi lain kondisi ini menimbulkan berkurangnya fleksibilitas dan kreatifitas eksekutif daerah.

Di daerah diperlukan tata hukum daerah yang setidaknya meliputi perda yang setingkat dengan UU, Peraturan Pemerintah Daerah  (PPD) setingkat dengan Peraturan Pemerintah dan Keputusan Kepala Daerah setingkat dengan Keputusan Presiden. Bentuk tata susunan peraturan perundang undangan ini seharusnya juga merupakan substansi konstitusi, termasuk penghargaan terhadap pluralisme hukum.

Perwujudan bahwa setiap masyarakat dengan sendirinya memiliki sistem hukum yang mengatur pergaulan anggota masyarakatnya dapat terealisasi. Hal ini bertujuan untuk mencegah terulangnya pengalaman buruk unifikasi hukum nasional yang mengarah pada sistem hukum tunggal. Karena secara sosiologis dan kultural hal ini sangat bertentangan dengan kemajemukan bangsa Indonesia. Hukum harus diciptakan dalam konteks masyarakatnya, tanpa mempertimbang- kan hal ini dengan sungguh-sungguh, maka niscaya politik akan sulit mencapai tujuannya, jika tidak gagal dalam pembentukannya, maka akan gagal dalam pelaksanaannya atau penerapannya.

2. Pengaturan Hubungan Keuangan termasuk pengelolaan Sumber Daya Alam

Pengaturan hubungan keuangan termasuk pengelolaan sumber daya nasioanal seharusnya juga menjadi materi muatan konstitusi. Justru pengelolaan ini yang oleh daerah dituntut pembagiannya secara adil dan memberikan kesejahteraan bagi daerah. Dalam realita yang ada selama ini, terjadi pemusatan kekuasaan ekonomi pada pusat yang menimbulkan kesenjangan di daeah (jakarta dengan luar jakarta, jawa dan luar jawa).

3. Letak Kedudukan Pemerintahan Desa

UUD hanya menetapkan dua tingkatan daerah otonom, yang disebut dengan propinsi dan dibagi lagi dalam daerah kabupaten dan kota. Pembagian ini dimaksudkan untuk menjalankan otonomi daerah. Desa bukan termasuk daerah otonom, tetapi dalam peraturan perundang undangan selanjutnya disebutkan memiliki hak untuk mengatur kewenangan yang bersifat asli. Konsekuensi dari pengaturan ini, maka desa diserahkan pengaturannya kepada kabupaten.

Dalam UU 32/2004 pasal 200 menyebutkan bahwa dalam pemerintahan daerah kab/kota dibentuk pemerintahan desa yang mengandung maksud bahwa desa dibentuk/lahir dan merupakan bagian inheren dari pemerintah kabupaten/kota, namun otonom. Dengan demikian maka kedudukan desa berada dalam rumah tangga kab/kota. Hal ini membingungkan karena kab/kota sebagai satuan pemerintah otonom dapat melahirkan suatu pemerintahan yang otonom juga. Ini tidak sesuai dengan rumusan pasal 18 ayat (1) yang menyebutkan bahwa NKRI dibagi atas daerah propinsi yang kemudian dibagi lagi atas daerah kab/kota. Istilah dibagi merupakan hierarki dan bersifat vertikal.

Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan UU 5 tahun 1979 yang menempatkan desa langsung berada di bawah camat menunjukkan posisi yang jelas, bahwa desa langsung ditempatkan berada di bawah kontrol pemerintah pusat. Menimbulkan pertanyaan apakah sebaiknya desa tidak diatur secara tersendiri dalam UU khusus tentang desa yang terlebih dahulu diberi posisi yang jelas dalam konstitusi mengingat desa dalam sejarahnya adalah pemerintahan asli, eksis dan dihormati warganya dengan adat khasnya.

Pada kenyataannya, sekarang terjadi banyak disharmonisasi antara hubungan kepala desa beserta perangkatnya dengan BPD, antara pemerintahan desa dengan pemerintahan kabupaten. Perda yang dibuat oleh kabupaten yang mengatur tentang desa tidak dapat serta merta diterima oleh pemerintah desa.

5.   Tidak adanya hubungan hierarkis antara daerah propinsi dengan kab/kota.

Hal ini sering ditafsirkan salah bahwa seolah ada pemutusan hirarkhis pemerintahan. Tidak ada hubungan hirarkhis mengandung maksud bahwa daerah kota/kabupaten bukan bawahan daerah propinsi. Masing-masing daerah itu memiliki kewenangan yang berbeda dan masing-masing kewenangan itu diperoleh dari negara.

Daerah propinsi mengurusi kewenangan lintas sedang daerah kota/kabupaten mengurusi kewenangan yang bukan kewenangan pusat dan propinsi. Jadi antara daerah propinsi dan daerah kota/kabupaten adalah sejajar.

Terkadang penyebutan otonomi bertingkat memberi kesan salah seolah terdapat tingkatan-tingkatan daerah otonom. Kewenangan pengawasan dan pembinaan yang dimiliki Gubernur terhadap daerah kota/kabupaten bukan sekali-kali menempatkan daerah kota/kabupaten dibawah daerah propinsi, tetapi merupakan konsekuensi gubernur merangkap sebagai perangkat pemerintah. Persoalan yang menjadi penting dalam kerangka ini adalah kemauan kerja sama saling koordinasi untuk tercapainya sinergis antara daerah propinsi dan kota/kabupaten.

C.2. Pengaturan desa dalam UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

1. Umum.

Pemerintahan Desa tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945. Satu pihak ini merupakan kelemahan hasil amandemen UUD yang parsial, dipihak lain pengaturan pemerintahan desa akan menjadi penafsiran liar penyusunnya. Penafsiran liar ini sudah sejak awal diperkirakan dan menjadi kekhawatiran kita semua. Dan, sekarang itu semua terjadi, pengaturan desa dalam UU No. 32/2004 merupakan set back otonomi desa kemasa Orba yang dilakukan oleh pemikir yang berpola neo Orba.

Pemerintahan Desa berdasar UU No. 32/2004 berbeda secara mendasar dengan Pemerintahan Desa berdasar UU No. 22/1999. Perbedaan itu terletak pada letak kedudukan, kewenangan, hubungan keuangan, sistem pemerintahannya, dan pengaturan perangkatnya. Pengaturan desa yang tergambar dalam UU No. 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol pemerintah, dan mereduksi demokratisasi pemerintahan desa. Ini mengingatkan pada situasi pengaturan desa berdasar UU No. 5/1979. Situasi ini tidak terlepas dari semangat pemerintah yang kembali memperkuat kontrolnya dengan berbagai pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah.

Pengaturan desa saat kembali dilakukan dalam satu undang-undang dengan pemerintahan daerah sebagaimana Undang-undang No 22 tahun 1999. Teknik pengaturan seperti ini membawa konsekuensi pada keberadaan desa yang kurang menonjol dan desa menjadi bagian dari pemerintahan daerah dengan penamaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Hal ini bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 18B UUD 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Menurut Jimly Asshiddiqie (2002: 24)  yang dimaksud sebagai satuan pemerintahan daerah disini adalah satuan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau pemerintahan desa yang bersifat khusus atau istimewa, misalnya sistem pemerintahan desa di Provinsi Sumatera Barat yang disebut dengan nagari dan di beberapa daerah lain berkembang sistem pemerintahan  desa yang bersifat khas, khusus ataupun istimewa.

Dalam konteks yang demikian seharusnya pemerintahan desa diatur dalam ketentuan undang-undang tersendiri sebagai satuan pemerintahan otonom yang hidup dan berkembang berdasarkan asal-usulnya jauh sebelum republik ini lahir. Seharusnya negara mengakui eksistensi pemerintahan desa dengan otonomi asli desa yang dimiliki  melalui suatu undang-undang tersendiri.  Namun untuk mencegah sejarah buruk pengaturan desa melalui sebuah undang-undang tersendiri yang akhirnya menimbulkan penyeragaman desa sebagaimana UU No. 5 tahun 1979, maka materi muatan undang-undang desa harus bersifat umum yang menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada daerah melalui Perda. Pengaturan ini akan menjamin pluralistik kekhasan sistem pemerintahan desa.

2. Kedudukan

Pasal 200 ayat (1), menyatakanDalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa” Penggunaan istilah “dibentuk” ini menegaskan bahwa pemerintah desa merupakan sub sistem atau bagian dari pemerintah kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

Dalam undang-undang ini desa merupakan satuan pemerintah yang ada dalam pemerintah kabupaten/kota. Ini berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota…….”. Pemakaian istilah “dibagi atas daerah-daerah” menunjukkan selain menghormati daerah otonom juga menegaskan adanya hubungan pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal. Jadi memang berbeda model hubungan pusat dan daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dengan model hubungan Kabupaten/kota dengan desa berdasar UU No. 32/2004.

Pengaturan ini selanjuatnya harus dilakukan secara hati-hati, karena dalam kapasitas tertentu desa akan berubah menjadi pemerintahan administrasi kabupaten yang sebelumnya berdasarkan UU 22/1999 otonomi desa sudah tumbuh dan berjalan. Kontrol pemerintah kabupaten/kota terhadap desa semakin kuat dengan pengaturan Pasal 200 ayat (3) bahwa “Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda”. Istilah “secara bertahap” di gunakan lebih awal dari istilah “dapat” memberi gambaran semangat pasal ini mengarahkan bentuk pemerintahan administrasi kelurahan untuk merubah pemerintahan desa secara bertahap.

Persoalan peralihan ini perlu mendapat kajian yang mendalam dalam penyusunan PP yang sekarang sedang dipersiapkan pemerintah. Klausul “atas usulan dan prakarsa Pemerintah Desa dan BPD” sebaiknya dicarikan mekanisme agar masih ada kontrol masyarakat mengingat bahwa BPD tidak lagi dipilih secara langsung. Misalnya, usulan perubahan bisa diajukan bila 90 % penduduk desa telah menyetujuinya melalui suatu referendum yang diselenggarakan secara bebas.

Ini untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan peralihan akibat hilangnya lembaga kontrol representasi rakyat dalam sistem pemerintahan desa berdasar UU 32/2004. Di dalam praktek desa-desa yang telah beralih statusnya menjadi kelurahan berdampak kecuali hancurnya hak-hak tradisionil rakyat juga hilangnya kekayaan desa melalui berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Kelurahan yang diserahi mengelola eks aset desa sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (2) kedudukannya sangat lemah karena kelurahan adalah pemerintah administrasi yang sangat berbeda dengan desa otonom.

3. Kewenangan

Terdapat empat sumber urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 206. Penjabarannya harus hati-hati, karena terjadi ketidaksinkronan terutama pasal 206 ayat (1) dengan Pasal 200. Pasal 206 ayat (1) menjelaskan salah satu  kewenangan desa adalah urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.

Jenis urusan ini jelas bukan urusan karena penyerahan dari pemerintah kabupaten/kota. Padahal dalam pasal 200 dinyatakan bahwa “dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa”. Istilah pemerintahan daerah menunjukkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber dari asas desentralisai dan tugas pembantuan. Dengan demikian dalam pemerintahan desa yang dibentuk ada urusan yang tidak bersumber kepada pembentuknya.

Selain itu ada urusan yang menjadi kewenangan desa karena penyerahan dari kabupaten/kota dan ada pula yang berasal dari tugas pembantuan. Adanya kedua jenis sumber ini sebenarnya menunjukkan bahwa desa merupakan satuan pemerintahan otonom yang berada di luar sistem pemerintahan daerah. Ketentuan ini tidak selaras dengan pasal 200 ayat (1) yang menyatakan dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa. Artinya pembentuk undang-undang ini tidak memiliki content draf yang utuh tentang sosok pemerintahan desa yang dirumuskan.

4. Sistem Pemerintahan Desa

Satuan pemerintahan otonom akan berjalan demokratis bila terjamin checks & balances antara pemerintah dan lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat. Terdapat beberapa kelemahan dalam pengaturan sistem pemerintahan desa di dalam UU No. 32/2004.

Pertama, tidak diaturnya sistem pertanggung jawaban kepala desa di dalam batang tubuh UU No. 32/2004.  Sistem pertanggung jawaban kepala desa  ditemukan di dalam penjelasan umumnya. “Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya……” Pengaturan semacam ini tidak tepat, karena penjelasan pada hakekatnya bukanlah norma, namun merupakan penjelasan dari norma sehingga terhindar dari makna ganda.  Apabila normanya tidak ada maka tidak mungkin ada penjelasan. Dalam teknis drafting pengaturan seperti ini salah fatal.

Kedua, tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa diatur lebih lanjut dengan Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 208).  Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat undang-undang tidak secara definitif menentukan tugas dan kewajiban kepala desa. Pengaturan semacam ini memberi “cek kosong” pada pemerintah melalui PP.  Di lain pihak BPD mempunyai fungsi yang sangat terbatas berdasarkan pasal 209 yaitu menetapkan perdes bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka akan sangat sulit terjadi check and balances system dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, karena kewenangan kepala desa sangat elastis dengan menyerahkan pengetuannya kepada Perda yang berpedoman PP, sedangkan fungsi BPD sangat rigid karena ditentukan dalam Undang-undang secara terbatas.

Badan Permusyawaratan Desa dalam UU No. 32/2004 memiliki fungsi bersama Kepala Desa menetapkan Perdes dan sebagai penampung dan penyalur aspirasi. Ini berbeda sama sekali dengan BPD model UU No. 22/1999 yang memiliki peran pengawasan terhadap pemerintah desa. Cara pembentukannya pun berbeda, BPD tidak lagi dipilih rakyat secara langsung, namun ditetapkan dengan cara musyawarah. Tata cara pembentukan, fungsi, dan peran BPD model UU 32/2004 akan mereduksi demokratisasi di tingkat desa. Bagaimana mungkin suatu badan yang dibentuk bukan sebagai representasi rakyat bisa menjalankan fungsi legislasi.

Dalam kondisi yang demikian maka langkah yang lebih tepat dilakukan adalah merevisi terlebih dahulu UU No. 32/2004 dengan mengatur mekanisme pertanggung jawaban kepala desa di dalam batang tubuh dan secara definitif menentukan tugas dan kewajiban/tanggung jawab kepala desa dalam UU untuk menghindari kekuasaan yang besar kepala desa berdasarkan aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Tumbuhnya pemerintahan totaliter di desa sebagaimana dampak UU No. 5 tahun 1979 perlu dihindari karena pada waktu itu posisi kepala desa sangat sentral dengan menempati posisi ketua LMD sekaligus sebagai eksekutif.

5. Pengaturan Perangkat Desa

Perangkat desa yang diatur berdasarkan UU No. 32/2004 sangat berbeda dengan pengaturan dalam UU No. 22/1999. Perangkat desa berdasarkan UU No. 32/2004 terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Kalau yang dimaksud PNS itu adalah PNS Kabupaten/Kota yang ditempatkan di desa maka ini akan membingungkan sistem kepegawaian.

Dalam penataan kepegawaian antara daerah otonom telah dilakukan pengaturan masing-masing sesuai dengan kebutuhan. Kalau mekanisme pengangkatan atau penunjukan PNS Sekdes dari pemerintah kabupaten/kota sebagaimana mekanisme yang berlaku pada kepala kelurahan maka akan mereduksi otonomi  yang dimiliki desa. 

Sebaiknya mekanismenya adalah proses seleksi penerimaan CPNS sekdes sehingga ada nilai kompetitif. Bahkan dalam rangka menuju aparat pemerintah desa harusnya mulai dipikirkan aparat desa adalah PNS Pemerintah Desa yang memiliki persyaratan dan aturan kepegawaian tersendiri. Pemilihan dilakukan terhadap jabatan politis saja seperti Kepala Desa, Dusun dan BPD.

C.3. Pengaturan Desa berdasarkan PP 72/2005

Prinsip dasar yang menjadi landasan pemikiran PP no 72/2005 tentang pengaturan desa adalah :

Keanekaragaman, dimana pola penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan desa tetap menghormati sistem nilai yang berlaku di masyarakat setempat namun tetap memperhatikan sistem hukum nasional, dalam hal ini konstitusi menjamin bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip NKRI.

Partisipasi, bahwa penyelenggataan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat dengan tujuan masyarakat merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab serta kebersamaan sebagai sesama warga desa.

Otonomi asli, kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat berdasarkan hak asal usul dan nilai budaya yang berkembang di masyarakat namun harus diselenggarakan dengan administrasi pemerintahan negara sesuai dengan perkembangan jaman.

Demokratisasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi melalui BPD dan lembaga kemasayarakatan sebagai mitra pemerintah desa.

Pemberdayaan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan desa dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui penetapan program, kebijakan, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan.

Dalam peraturan pemerintah no 72 tahun 2005 tentang Pokok Pokok Pengaturan Desa sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang salah satu substansinya mengatur tentang desa terdapat beberapa poin penting yang menjadi landasan pengaturan tentag desa, yaitu :

1. Perubahan status desa.

Atas prakarsa pemerintah desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Kekayaan desa menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat. Dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan melibatkan masyarakat kelurahan.

2. Urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan desa.

Urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa. Urusan pemeirntah yang menjadi kewenangan kab/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kab/kota. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang undangan diserahkan kepada desa.

3. Pemerintahan desa.
Terdiri dari kepala desa dan perangkat desa.
Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa yang diisi dari PNS dengan persyaratan 1) berpendidikan paling rendah SMU atau sederajat,
2) mempunyai pengetahuan teknis tentang pemerintahan,
3) berkemampuan di bidang administrasi dan perkantoran,
4) berpengalaman di bidang keuangan, administrasi dan perencanaan,
5) memahami sosial budaya dan kultur masyarakat,
6) bersedia tinggal di desa yang bersangkutan.
Perangkat desa lainnya yaitu sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan.

4. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Kepala desa berkewajiban menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati/walikota.
Kepala desa memberikan laporan pertanggung jawaban penyelenggaraan pemerintahan desa kepada BPD.
Memberikan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.

5. Kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa.
Kepala desa dan perangkat desa diberi penghasilan tetap setiap bulannya dan tunjangan lainnya.
Penghasilan tetap minimal sesuai dengan UMR minimum kab/kota.
Penghasilan ini tidak termasuk sekretaris desa yang berstatus PNS.

6. Badan Perwakilan Desa.

Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD adalah perwakilan penduduk desa setempat berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari ketua RW, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat.

Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat kembali.

Jumlah anggota BPD antara 5 sampai 11 orang tergantung jumlah penduduk desa yang sangkutan.

BPD berwenang membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa.

Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan keputusan kepala desa.

Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa.

Membentuk panitia pemilihan kepala desa.

Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Menyusun tata tertib BPD.

7. Peraturan Desa.

Merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Peraturan desa dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangan undangan. Disampaikan kepala desa kepada bupati/walikota melalui camat sebagai bahan pengawasan dan pembinaan.

8. Ketentuan Peralihan.
Masa jabatan kepala desa yang ada pada saat ini tetap berlaku sampai habis masa jabatannya.
Anggota BPD yang ada pada saat ini tetap menjalankan tugas sampai yang bersangkutan habis masa jabatannya.
Sekretaris desa yang ada selama ini yang bukan PNS secara bertahap akan diangkat menjadi PNS yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri.


KESIMPULAN

Untuk menyongsong masa depan otonomi, harus dimulai menata kembali struktur ketatanegaraan pemerintahan desa, desa diatur dalam undang-undang tersendiri terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah merupakan pilihan yang ideal. Desa ditempatkan sebagai satuan pemerintahan otonom diluar struktur pemerintahan kabupaten/kota merupakan pilihan strategis. Mengapa, karena daerah dan desa memang berbeda baik dari sisi penyelenggaraan pemerintahan dan persoalan yang dihadapi. Perbedaan karakteristik itulah yang secara historis oleh pemerintahan kolonial mengatur desa tersendiri terpisah dari Desentralisasi Wett.

Bahkan dipisahkan pula pengaturan desa-desa yang ada di Jawa-Madura dan di luar Jawa-Madura. Pengaturan terpisah menjadi pilihan karena keberadaan desa yang pluralistik sangatlah sulit diatur dalam satu peraturan yang akomodatif. Demikian juga mengatur desa dengan undang-undang tersendiri terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintahan masa tahun 1965 dan tahun 1979. Baru pemerintahan tahun 1999 dan pemerintah yang kemudian merevisinya tahun 2004, pengaturan daerah dan desa dijadikan dalam satu undang-undang. Karena itu desa akan lebih baik disusun dengan undang-undang tersendiri. Tidaklah tepat meletakkan rumah tangga desa dalam rumah tangga daerah, seperti diatur dalam UU 32/2004.

Secara substansi pemisahan pengaturan dalam undang-undang tersendiri harus konsisten dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD, yaitu daerah kabupaten/kota dibagi atas desa. Selain menunjukkan pemerintahan yang hirarkis juga menempatkan pemerintahan desa diluar struktur pemerintahan kabupaten/kota. Mengingat bahwa desa dalam kenyataannya sangat pluralistik, maka pengaturan melalui undang-undang tersendiri bisa dilakukan dengan 2 pilihan.

Pertama, dibuat undang-undang  khusus tentang desa (semacam UU otonomi Khusus) misalnya UU Nagari untuk Sumbar, UU Desa untuk Jawa, UU Desa untuk Bali, UU Kampung untuk Sumsel, dan lain-lain. Sisi positif alternatif  ini, undang-undang  yang dibuat akan responsif dan akomodatif karena sesuai dengan kondisi masing-masing. Namun memiliki sisi negatif yaitu memerlukan waktu panjang dan biaya mahal, belum lagi adanya pandangan-pandangan dari kalangan nasional-sentris neo-orba yang menganggap membahayakan NKRI.

Kedua, dibuat satu undang-undang yang memuat asas-asas dan prinsip-prinsip lebih umum, misalnya menyangkut hubungan antar tingkatan, prinsip-prinsip good governance, keuangan dan fiskal. Penjabaran lebih lanjut diserahkan kepada daerah masing-masing melalui jalur tugas pembantuan. Pengaturan seperti masa jabatan, syarat pendidikan Kades, perangkat, struktur organisasi, tata cara pemilihan diserahkan pada daerah masing-masing. Sangatlah sulit membentuk satu undang-undang yang komplit namun responsif kepada semua desa. Karena itu undang-undang pemerintahan desa yang hanya mengatur prinsip-prinsip saja merupakan jalan keluar menampung pluralistik.

Untuk mencegah sentralistik dan “cengkeraman” pemerintah kabupaten/kota terhadap desa, perlu dipikirkan kerangka ketatanegaraan yang bisa menjamin checks & balances antara pemerintah kabupaten/kota dan desa. Pemerintah perlu merumuskan ulang mekanisme prosedural tata hubungan kelembagaan antara kabupaten dan desa yang mampu meningkatkan posisi tawar desa terhadap kabupaten/kota. Suasana checks & balances bisa tercipta apabila dalam pembuatan Perda yang menyangkut kepentingan desa terdapat mekanisme yang melibatkan perwakilan desa.

Membentuk Dewan Perwakilan Desa (DPDes) merupakan gagasan yang menarik. DPDes memiliki fungsi memperjuangkan kepentingan desa pada saat pemerintahan kabupaten/kota membentuk Perda berkaitan dengan kepentingan desa. Dengan demikian dalam pembentukan perda tertentu dilakukan melalui mekanisme dua kamar. Kalau kita menginginkan hubungan kelembagaan kabupaten/kota dan desa berjalan diatas demokrasi maka perlu dikembangkan mekanisme dialogis yang seimbang tidak monologis tanpa partisipasi.

1 komentar:

  1. merit casino【Malaysia】lucky 88【Malaysia】casino
    【 Wal-Mart-Home】lucky kadangpintar 88, 【 Wal-Mart-Home】lucky 88, 【 Wal-Mart-Home】lucky 88, 【 Wal-Mart-Home】lucky 88, worrione메리트카지노총판 Wal-Mart-Home】lucky 88, 【 Wal-Mart-Home】lucky

    BalasHapus